Kebanyakan orang pasti pernah berpartisipasi dalam sebuah sprint. Sebagian lainnya pernah mendengar tentang design sprint. Di tempat saya bekerja, Kulina, kami melakukan design sprint pertama kami pada pertengahan 2017 lalu. Ini adalah konsep yang baru bagi anggota tim dan (mungkin juga) bagi komunitas startup di Yogyakarta.
Latihan ini sangat berguna untuk mengubah cara berpikir tim kami tentang pendekatan masalah, pencarian solusi, dan pengembangan produk. Kami sangat beruntung karena CEO, desainer, kepala bagian pemasaran, serta kepala developer dan customer support, turut hadir dalam latihan ini. Saya sangat menyarankan kamu untuk mencobanya.
Berikut adalah tujuh hal yang saya pelajari setelah melakukan design sprint untuk pertama kalinya:
Persiapkan dirimu!
Saya dan co-founder kami yang keduanya bernama Andy (Andy Fajar Handika dan Andy Hidayat) memutuskan bahwa saya pindah ke Yogyakarta seminggu sebelum dimulainya sprint ini. Keputusan tersebut dibuat mengingat sebagian besar developer dan bagian pemasaran berada di Yogyakarta.
Lalu, apa tugas pertama saya? Menjalankan design sprint.
Saya pun membeli buku berjudul Sprint dan terbang menuju Yogyakarta. Buku sudah di tangan. Dengan berat hati saya harus langsung menghabiskan bacaan tersebut di sepanjang akhir pekan.
Sebelum sprint dimulai, kami juga harus menyiapkan materi tulisan, ruangan, dan mengosongkan jadwal para anggota tim. Memiliki divisi human resources (HR) yang menakjubkan (seperti tim kami) akan sangat membantu dalam proses ini.
Tak berhenti sampai di situ. Setiap hari seusai rapat, saya kembali ke rumah, lalu menuliskan rangkuman meeting di hari tersebut, meninjau bahan untuk esok hari, dan membuat catatan.
Esoknya, saya datang lebih awal. Kemudian, saya menyiapkan papan tulis dan materi yang dibutuhkan lainnya. Percayalah, semua kerja keras itu akan setimpal!
Catatan tambahan untuk fasilitator: proses sprint anggota tim yang lain mungkin akan selesai pada pukul 5 sore, tetapi tugasmu belum selesai sampai di situ. Pastikan kamu siap selama proses ini berlangsung selama sepekan!
Kemampuan berpikir cepat akan sangat dibutuhkan
Tak dapat dipungkiri, buku Sprint yang saya baca adalah sumber materi yang sangat berguna. Namun, kamu juga dituntut untuk melakukan banyak improvisasi.
Beberapa detail dalam buku tersebut, seperti peralatan, tidak dapat kami temukan di Yogyakarta. Kami pun harus memutar otak untuk mencari peralatan pengganti.
Awalnya, kami menjadwalkan sprint selama satu jam. Nyatanya, sprint kami memakan waktu lebih lama. Ada pula yang selesai hanya dalam 30 menit, padahal kami telah meluangkan waktu beberapa jam untuk membahas hal tersebut. Itu sebabnya, kamu perlu menyesuaikan diri dengan situasi di lapangan.
Saya menambahkan beberapa teknik yang pernah saya gunakan di perusahaan tempat saya bekerja sebelumnya.
Saya menyukai ide “double crazy 8s”, di mana kami menuliskan solusi pertama di dinding, menjelaskannya, melihat orang lain, dan melakukannya sekali lagi. Hal itu sangat berguna bagi tim kami.
Bersiaplah untuk menyesuaikan, beradaptasi, dan berinovasi!
Pererat hubungan antar anggota tim
Asumsi bahwa komunikasi akan berjalan baik di dalam tim skala kecil (seperti startup) ternyata tak selamanya benar. Kami duduk bersebelahan tanpa tahu apa yang dikerjakan oleh masing-masing anggota merupakan kenyataan yang masih membuat saya takjub.
Melalui design sprint ini, tiap anggota akan merasakan manfaat belajar dari departemen lain. Selain itu, mereka juga akan mengetahui efek pekerjaan mereka terhadap orang lain.
Dulu, developer kami terbiasa meluncurkan fitur-fitur baru tanpa memberi tahu tim customer support. Akibatnya, tim customer support baru mengetahuinya melalui komplain dari para pelanggan.
Kepala bagian customer service kami menyadari kalau timnya perlu menjadi lebih aktif dan ikut serta secara langsung sedari awal tahap pengembangan produk. Kini, tim kami menghargai cara bekerja antar departemen. Mereka bahkan menginginkan waktu bersama lebih banyak lagi.
Kegagalan = pelajaran berharga
Ini adalah gambaran interaksi dan customer journey kami yang tidak lengkap. Sumber: Medium Casper Sermsuksan
Sesi sprint kami kala itu adalah untuk menjawab pertanyaan: apakah pengguna akan mengerti manfaat dari fitur cashback?
Saat mewawancarai pengguna, kami mendapat penolakan keras. Meski demikian, pelajaran yang kami dapat saat proses tersebut ternyata begitu berharga.
Ini merupakan kali pertama kami benar-benar meluangkan waktu untuk memahami tujuan yang ingin kami capai bersama.
Mengerjakan tugas individu bersama-sama ternyata efektif
Tiap orang membicarakan sesi brainstorming dan menginginkan sesi ini, khususnya yang menghasilkan ide-ide inovatif. Tapi, kebanyakan dari kami justru tak suka sesi ini karena biasanya hanya ada satu atau dua orang yang aktif berbicara.
Selama design sprint berlangsung, tiap orang menuliskan ide-ide mereka dan membagikannya kepada semua orang. Kamu pasti akan terpukau dengan hasilnya. Tapi ketika saya bertanya langsung tentang apa yang harus kami lakukan, semuanya terdiam.
Ide-ide yang ditulis di kertas post-in selama sprint. Sumber: Medium Casper Sermsuksan
Menariknya, ketika saya meminta mereka menuliskan ide mereka dalam waktu lima menit, ruangan kami pun dipenuhi dengan kertas warna-warni berisi ide mereka. Saya pun mengaplikasikan cara ini di sebagian besar meeting saya.
Mengatasi politik kantor dengan design sprint
Coba ingat-ingat lagi, berapa kali kamu menyepakati suatu ide, kemudian salah satu co-founder, petinggi C-Level, atau bos kamu datang dan mengubah semuanya?
Nah, kami mengikutsertakan para petinggi atau disebut HiPPO (Highest Paid’s Person Opinion) sejak awal proses design sprint. Ini akan membuat mereka merasa sebagai bagian dari tim.
Kami membiarkan anggota tim memilih ide terbaik kemudian para petinggi perusahaan akan membuat keputusan terakhir. Sempurna! Sekarang kita dapat melangkah ke tahap selanjutnya!
Segalanya harus bisa diuji
Di hari ketiga, kami selangkah lebih cepat daripada jadwal yang ditentukan. Oleh sebab itu, kami memutuskan untuk mengetes apakah orang lain mengerti apa yang kami lakukan. Selain membuat prototipe alur kerja masing-masing laman, kami juga ingin menguji apakah kopi yang kami tulis bersama-sama mudah dipahami.
Ternyata, kami tidak pandai merangkai kata. Saya pun meminta anggota tim untuk menulis kopi versi mereka. Lalu, kami memajang hasil tulisan mereka dan menuliskan nama penulisnya. Setelah itu, kami pun menguji kopi tersebut ke anggota tim lain.
Rekan kami membaca, menjelaskan, dan memberi peringkat pada tulisan tersebut berdasarkan kejelasan dan pilihan masing-masing.
Menurutmu, tulisan siapa yang paling mudah dimengerti?
Tim pemasaran?
Desainer?
Bukan. Developer kami juaranya!
Menariknya lagi, solusi yang ditulis oleh CEO kami tercinta justru terus-menerus mendapat suara terendah. Meski hal ini menyedihkan untuk bos kami, tapi saya yakin tim kami bisa mempelajari manfaat menguji usulan solusi sebelum membuat keputusan final.
Yang pasti, saya dan tim belajar banyak hal di sepanjang proses ini. Sprint telah mengubah cara pikir dan cara kami bekerja.
0 komentar:
Posting Komentar